NAHDLATUL 'ULAMA Di Mata Dunia
Dari
Prestise, Internasionalisasi NU Sampai Aplikasi ASWAJA NU
Bermula dari
Komite Hijaz sebagai organisasi embrio Nahdlatul Ulama’, ia mengawali sepak
terjang NU di kancah Internasional. kesuksesaan Komite Hijaz dalam memperjuangkan
jaminan kebebasan bermadzhab di Arab Saudi menunjukkan bahwa prestise para
Ulama’ madzhab (syafi’iyah, malikiyah, hanabilah dan hanafiyah) di Indonesia
begitu besar di mata mereka sehingga mereka mengiyakan tuntutan tersebut.
Selain menuntut jaminan kebebasan bermadzhab, Komite Hijaz juga menuntut
perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan penentuan tarif resmi untuk semua
kegiatan haji. Tuntutan ini juga mendapat respon dari pemerintah Arab Saudi
dengan mengeluarkan tarif resmi bagi semua kegiatan haji, bahkan jamaah haji
yang merasa membayar lebih dari ketentuan tarif resmi dapat mengklarifikasi
lewat wakil di Arab Saudi. Walhasil, Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang
awalnya menyambut hangat keputusan asas tunggal madzhab Wahabi di Arab Saudi
kebakaran jenggot dengan keputusan jaminan kebebasan bermadzhab tersebut.
Sebegitu
terhormatkah Komite Hijaz sebagai organisasi para Ulama madzhab Indonesia
dimata mereka?.
Berbicara
hal ini, maka kita harus membuka lembaran sejarah abad 19 dan awal abad 20 di
Arab Saudi sebagai awal Indonesia-waktu itu Hindia-Belanda-mendapat tempat
terhormat dimata mereka. Pada waktu itu sederet santri-santri Indonesia yang
menimba ilmu di sana berhasil dengan gemilang menuai prestasi keilmuan islam,
sehingga mereka berubah wujud menjadi ulama’-ulama’ madzhab yang disegani.
Mereka mampu bersaing dengan ulama’-ulama’ lokal dalam bidang ilmu yang mereka
mampu. Diantaranya adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang sempat
menjadi Imam Masjidil Haram, Syekh Nawawi Al-Bantani, Sheikh Ihsan Al-Jampesi,
Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi, dsb. Kepopuleran mereka waktu itu bukan
dikawasan Arab Saudi saja, bahkan Universitas Al-Azhar Mesir menggunakan
sebagian karya mereka sebagai kurikulumnya, belum lagi di Negara Timur Tengah
yang lain.
Maka dengan
kepopuleran para ulama’ madzhab asal Indonesia tersebut otomatis telah membawa
nama Indonesia memiliki tempat yang terhormat dimata dunia arab, khususnya Arab
Saudi, sehingga sampai Komite Hijaz di utus untuk meminta rekomendasi jaminan
kebebasan bermadzhab di Arab Saudi, Komite Hijaz sebagai organisasi para ulama’
madzhab Indonesia berhasil dengan gemilang. Ini menunjukkan bahwa para ulama’
madzhab Indonesia, bahkan sampai saat ini masih memiliki prestise yang tinggi
dimata Timur Tengah.
Terbukti,
ketika tongkat estafet para ulama’ madzhab Indonesia jatuh pada organisasi
Nahdlatul Ulama’ sebagai titisan mereka. NU dengan mudah bisa memainkan
perannya menjadi penengah di daerah konflik Timur tengah. Gus Dur bisa
menangkap sinyal itu. Sebagai orang terpelajar NU, akhirnya Gus Dur merambah ke
Negara Barat membawa NU untuk menancapkan taringnya. Gus Dur melihat minus NU
di dunia Barat dengan jelas. Misi itu makin mengental ketika Gus Dur memegang
tampuk kepemimpinan NU mulai tahun 1984 sampai 1999. Maka dampak dari gejolak
tersebut corak kepemimpinan Gus Dur sebagai ketua Tanfidziyah PBNU waktu itu
agak condong ke kiri-kirian karena memang terlalu mesra dengan dunia Barat.
Walhasil, Gus Dur sukses membangun prestise NU di dunia Barat. Berbagai
penghargaan dari dunia Barat diraihnya. Disamping itu Gus Dur juga memperoleh
banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga
pendidikan dunia. Diantaranya, Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik,
Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne
University, Paris, Perancis tahun 2000. Maka disini bisa diartikan bahwa
kesuksesan Gus Dur didunia Barat sebagai petinggi NU otomatis membawa
kesuksesan NU yang berwajah kekirian.
Nah,
sekarang sempurnalah prestise NU di Timur dan Barat. Natijahnya, kalau dahulu
para Ulama’ Madzhab Indonesia termasuk Komite Hijaz membangun prestise NU di
Timur Tengah, maka Gus Dur dkk membangun prestise NU di Barat. Kini NU tengah
memainkan perannya sebagai organisasi terpandang dunia yang laku pasaran dimana
saja. Pada posisi ini ketika KH. Hasyim Muzadi memegang tongkat kepemimpinan NU
tahun 2000 sampai 2010, dengan mudah memperkenalkan NU lebih dalam pada dunia
dengan modal prestise NU yang telah terbangun mapan. Maka aplikasinya, waktu
itu PBNU memulainya dengan membentuk Konferensi Ulama dan Cendekiawan Muslim
se-Dunia (International Confrence of Islamic Scholars/ICIS). ICIS I digelar
tahun 2004. Tema yang diangkat seputar rekonstruksi pemikiran keagamaan untuk mempererat
hubungan antaragama dan antarbangsa. Pada tema ini NU ingin menegaskan dirinya
sebagai organisasi islam Indonesia yang memiliki ciri khas yang tidak di
temukan pada organisasi-organisasi islam dunia yang lain. ICIS II tahun 2006
mengkaji isu perdamaian dan keadilan global. Sedangkan ICIS III membahas
perdamaian dan penyelesaian konflik di negara-negara Islam.
Konferensi
itu melibatkan 350 peserta dari 60 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika
Serikat. Mereka terdiri dari para ulama, cendekiawan, akademisi, pengamat,
praktisi resolusi konflik multietnis dan non-partisan. Semua organisasi
Internasional dan nasional merespon positif atas langkah yang diambil PBNU
karena posisi NU di dunia Internasional telah terkenal dengan sifat tawassut,
tawazun, tasamuh dan ta’adul yang dibangkitkan oleh KH. Hasyim Muzadi sebagai
ketua PBNU melalui dasar prestise NU yang telah mapan didunia Internasional.
Misi Internasionalisasi NU pada masa ini telah sukses menembus jendela
Internasional. Kini NU yang di nahkodai oleh KH. Said Agil Siraj tinggal
memainkan peran tersebut dengan lihai dan harus lebih intens menawarkan dan
mengaplikasikan aswaja NU di dunia Internasional secara maksimal, bukan hanya
Internasionalisasi belaka. NU memiliki modal itu
Melihat
potensi ini, bangsa Indonesia harus dapat bersinergi dengan NU dalam beberapa
bidang keahlian. Untuk itulah pada tahun 2010 lalu, Presiden RI Susilo Bambang
Yudoyono mengadakan MoU dengan pengurus PBNU dalam sebuah pertemuan di Istana
Negara. Lima hal yang menjadi prioritas utama dalam MoU yang ditawarkan SBY
pada NU, Pertama, menanggulangi gerakan radikalisasi. selain pendekatan hukum
dan keamanan yang telah dilakukan aparat pemerintah. Maka yang tak kalah
pentingnya adalah pendekatan cultural dan keagamaan. NU punya potensi itu.
Kerjasama
kedua yang mungkin dilakukan adalah di bidang peningkatan ekonomi, terutama
dalam penimngkatkan ketahanan pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro dan
ketahanan energi. Program ini perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan
rakyat paling bawah.
Ketiga,
kerjasama dalam bidang pendidikan, terutama dengan pendidikan moral dan
penguatan character building. Keempat, suatu hal yang sangat urgen yang harus
melibatkan para ulama adalah penanggulangan climate change. Kelima adalah
pengembangan dialog peradaban untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Kedepan,
pengaruh NU yang bercorak islam rahmatan lil alamin di dunia Internasional akan
mirip seperti pengaruh NU ditingkat nasional karena memiliki pendidiran fi
kalimatin sawa’ sehingga mampu menciptakan kerukunan antar umat beragama dan
menciptakan babak baru peradaban di didunia Islam. Dunia akan menjadi seperti
warna Indonesia besar yang memiliki warna pancasila besar karena aplikasi sikap
ajaran ASWAJA NU besar dalam mengawal stabilitas Internasional.
Semoga
bermanfa'at dan menambah wawasan kita dan memperkuat aqidah kita ASWAJA ALA
NU.. Amin... — Bersama Ahmad Mahrum Assyafah